
Efek Negatif Cancel Culture bagi Kesehatan Mental
Akhir-akhir ini, banyak public figure terkenal yang menjadi sasaran hujatan netizen akibat kasus skandal yang mereka alami. Tapi, bagaimana jika yang terkena skandal adalah artis favorit kita? Apakah kita tetap mendukungnya atau malah ikut menghujatnya? Salah satu contoh kasus terkenal adalah Kim Seon Ho, artis Korea yang populer lewat drama Hometown Cha-Cha-Cha. Kim Seon Ho mendapat slot bet 200 banyak kecaman dari netizen setelah dituduh memaksa aborsi dan melakukan gaslighting kepada mantan pacarnya. Meskipun informasi baru muncul yang mengungkap bahwa banyak pernyataan mantan pacarnya yang tidak akurat, citra Kim Seon Ho tetap terkena dampaknya.
Lalu, apa sih sebenarnya cancel culture itu?
Apa Itu Cancel Culture?
Cancel culture atau budaya membatalkan adalah tindakan individu atau kelompok untuk menolak atau mengisolasi seseorang karena perilaku atau komentar yang dianggap salah. Korban cancel culture sering kali dikucilkan secara sosial dan dihujat oleh banyak orang, terutama melalui media sosial.
Cancel culture sering kali dipicu oleh isu-isu sensitif seperti seksualitas, rasisme, agama, atau pandangan politik yang ekstrim. Aktivitas ini dapat sangat memengaruhi kesehatan mental korban, baik itu public figure maupun orang biasa.
Dampak Cancel Culture pada Kesehatan Mental
Cancel culture bukan hanya berdampak pada citra sosial seseorang, tetapi juga berpotensi merusak kesehatan mental mereka. Berikut ini adalah beberapa dampak yang sering dialami oleh korban cancel culture:
1. Rasa Malu yang Mendalam
Cancel culture dapat menimbulkan rasa malu yang luar biasa bagi korban. Rasa malu ini sering kali menghantui korban setiap waktu, membuat mereka merasa terisolasi dan terhina, bahkan akibat kesalahan kecil yang mereka lakukan di media sosial. Rasa malu yang mendalam bisa memengaruhi psikologis seseorang dalam jangka panjang.
Baca Juga : https://www.projectbolo.com/membahas-cancel-culture-pengertian-kemunculan-dan-baik-buruknya/
2. Rentan Terkena Cyberbullying
Dengan kekuatan media sosial, cancel culture sering kali berujung pada cyberbullying, di mana korban dihujat, diberi komentar negatif, atau dihina secara online. Penyerangan ini dapat mengganggu kesehatan mental korban dan bahkan menyebabkan depresi atau kecemasan akibat tekanan sosial yang berlebihan.
3. Isolasi Sosial dan Kesepian
Ketika seseorang dibatalkan oleh masyarakat, mereka sering kali mengalami isolasi sosial, yang membuat mereka merasa sangat kesepian. Isolasi sosial ini dapat memicu kecemasan, stres, dan bahkan mengganggu kesehatan fisik, karena merasa terputus dari orang-orang terdekat.
4. Perfeksionisme yang Berlebihan
Korban cancel culture sering kali merasa tertekan untuk selalu tampil sempurna. Ketakutan akan kesalahan di masa depan menyebabkan mereka menjadi sangat perfeksionis dan cemas setiap kali mereka melakukan hal yang sedikit berbeda atau kontroversial. Ini menambah beban psikologis mereka untuk terus “memperbaiki diri” agar tidak kembali dibatalkan.
5. Depresi dan Kehilangan Semangat
Mendapatkan label negatif dari masyarakat bisa sangat merusak mental seseorang. Korban cancel culture bisa merasa tertekan dan kehilangan semangat hidup. Pikiran negatif ini sering kali berujung pada depresi, di mana seseorang merasa sangat terpuruk dan sulit untuk bangkit dari perasaan tersebut.
Cara Mengatasi Dampak Cancel Culture pada Kesehatan Mental
Tentu, meskipun kita tidak bisa mengontrol perilaku orang lain yang terlibat dalam cancel culture, ada beberapa langkah yang bisa kita ambil untuk melindungi diri kita dari dampaknya.
1. Kontrol Pikiran dan Perasaan
Salah satu cara terbaik untuk mengatasi perasaan bersalah atau depresi akibat cancel culture adalah dengan belajar mengontrol perasaan dan pikiran kita sendiri. Jangan biarkan komentar negatif atau hujatan merusak kesehatan mentalmu. Fokus pada hal-hal positif dan langkah-langkah untuk memperbaiki diri.
2. Permintaan Maaf yang Tulus
Jika kesalahanmu terbukti dan kamu merasa perlu untuk meminta maaf, lakukan dengan tulus. Hindari permintaan maaf yang defensif atau terkesan paksaan. Mengakui kesalahan dengan hati yang terbuka dapat membantu mengurangi ketegangan dan menunjukkan niat baikmu.
3. Konsultasi dengan Profesional
Jika dampak cancel culture terasa sangat berat dan sulit untuk diatasi sendiri, cobalah untuk berkonsultasi dengan seorang psikolog. Banyak layanan psikologis online seperti Satu Persen yang menawarkan layanan konseling dari profesional yang berlisensi. Ini bisa menjadi cara yang baik untuk mendapatkan dukungan dan strategi dalam menghadapi perasaan negatif akibat cancel culture.
Cancel culture memang memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental, baik bagi public figure maupun individu biasa. Oleh karena itu, penting untuk menjaga kesehatan mental dan tidak terjebak dalam arus negatif dari media sosial. Dengan kontrol diri dan dukungan dari orang terdekat, kita bisa menghadapinya dengan lebih baik.

Apa Itu Cancel Culture dan Contohnya: Fenomena Kontroversial di Era Digital
Di era digital saat ini, fenomena cancel culture semakin sering diperbincangkan di media sosial dan berbagai platform online. Cancel culture merujuk pada tindakan menghindari atau menghentikan dukungan terhadap individu, perusahaan, atau bahkan institusi yang dianggap telah melakukan kesalahan atau perilaku yang tidak diterima secara sosial. Biasanya, tindakan ini dilakukan melalui media sosial, di mana para pengguna internet beramai-ramai menyerang pihak yang bersangkutan, baik dengan mengkritik, mengecam, atau bahkan memboikot produk atau layanan mereka. Fenomena ini sering kali dipicu oleh pernyataan atau tindakan yang dianggap tidak sensitif, kontroversial, atau ofensif.
Konsep cancel culture muncul dari keinginan untuk memberikan dampak atau pelajaran bagi mereka yang melakukan hal-hal yang dianggap salah atau tidak etis. Namun, cancel culture juga mendapat kritik karena seringkali melibatkan respons berlebihan yang dapat merusak karier dan reputasi seseorang tanpa melalui proses klarifikasi atau pembelaan yang adil. Beberapa pihak berpendapat bahwa budaya ini bisa menjadi bentuk “hakim sosial” yang dilakukan secara terburu-buru dan tanpa mempertimbangkan konteks lebih dalam. Hal ini membuat banyak orang merasa khawatir tentang dampak negatif dari cancel culture, terutama bagi individu yang mungkin melakukan kesalahan tanpa niat buruk.
Salah satu contoh cancel culture yang paling terkenal adalah Kasus Kevin Hart pada tahun 2018. Komedian terkenal ini dicancel setelah tweet-tweetnya yang berisi lelucon homofobik dari beberapa tahun sebelumnya ditemukan kembali oleh netizen. Meskipun Kevin Hart sudah meminta maaf dan menyatakan bahwa dia telah berubah, publik tetap menuntut agar dia mundur dari posisinya sebagai host Oscar 2019. Meskipun pada akhirnya Hart memilih untuk mengundurkan diri dari acara tersebut, kasus ini menjadi salah satu contoh besar bagaimana cancel culture bisa berdampak signifikan pada karier seseorang, bahkan setelah permintaan maaf dan perbaikan dilakukan.
Contoh lainnya adalah kasus J.K. Rowling, penulis dari seri Harry Potter. Rowling mengalami serangan besar-besaran dari para penggemar dan aktivis setelah serangkaian pernyataan yang dianggap transphobic (mendiskriminasi transgender). Meskipun Rowling berulang kali mempertahankan pandangannya, banyak orang yang merasa bahwa kata-katanya tidak hanya menyakitkan tetapi juga mengandung ketidakpahaman terhadap isu-isu gender. Beberapa penggemar bahkan memilih untuk memboikot karya-karyanya dan meruntuhkan fondasi waralaba Harry Potter sebagai bentuk penolakan terhadap pandangannya. Kasus ini menunjukkan bagaimana cancel culture juga dapat menjangkau figur publik yang sudah terkenal luas. Slot88 adalah salah satu platform situs slot gacor online yang terkenal di Asia, termasuk Indonesia. Platform ini menawarkan berbagai jenis permainan slot dari provider ternama seperti Pragmatic Play, Habanero, dan Playtech.
Namun, cancel culture juga menunjukkan sisi positifnya dalam hal pemberian tekanan terhadap individu atau perusahaan yang dianggap melakukan kesalahan besar atau memperlakukan kelompok tertentu secara tidak adil. Misalnya, ketika Harvey Weinstein, seorang produser film ternama, dihadapkan pada tuduhan pelecehan seksual oleh banyak wanita, gerakan #MeToo yang berkembang pesat di media sosial memberikan pengaruh besar dalam mendorong para korban untuk berbicara dan akhirnya menghentikan karier Weinstein. Dalam hal ini, cancel culture digunakan untuk memecahkan masalah yang lebih besar terkait pelecehan seksual dan ketidakadilan dalam industri hiburan.
Di sisi lain, cancel culture dapat berisiko menyebabkan polarisasi sosial, di mana opini seseorang dengan cepat dianggap salah atau berbahaya hanya karena tidak sejalan dengan opini mayoritas. Kadang-kadang, efeknya bisa sangat merusak, bahkan bagi orang-orang yang sedang berusaha untuk belajar dari kesalahan mereka. Oleh karena itu, banyak yang berpendapat bahwa dialog terbuka dan pendidikan lebih penting daripada hukuman sosial yang dilakukan tanpa pemberian kesempatan untuk perbaikan atau penjelasan. Sebuah pertanyaan besar yang muncul adalah, sejauh mana kita harus memberi ruang bagi individu untuk berkembang dan belajar, atau apakah kita harus menuntut mereka untuk sepenuhnya mengubah pandangan mereka tanpa bisa diberi kesempatan untuk mengubah diri.
Fenomena cancel culture memang merupakan hal yang kompleks dan dapat memiliki dampak yang besar baik pada individu yang terlibat maupun pada masyarakat secara keseluruhan. Dalam menjalani budaya ini, penting untuk mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk konteks, niat, dan kemungkinan perbaikan dari pihak yang terlibat. Menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyuarakan keadilan sosial memang bermanfaat, tetapi juga perlu disadari bahwa efek dari cancel culture bisa sangat merugikan jika tidak diimbangi dengan kebijaksanaan dan pemahaman.
Baca Juga : Benarkah “Cancel Culture” Nyata Terjadi di Indonesia?

Benarkah “Cancel Culture” Nyata Terjadi di Indonesia?
Menurutmu benarkah cancel culture sudah terjadi di Indonesia? Apakah ini sekadar fenomena atau akan ada momen maupun kejadian lain yang bisa terjadi serupa?
Selain itu, apakah itu adil bagi pengkarya yang mana juga terdampak pada karya-karya selanjutnya?
Cancel culture ini bisa dibilan sebuah gerakan yang umumnya terjadi di dunia maya. Umumnya gerakan ini bertujuan untuk memboikot atau menghukum seseorang maupun kelompok akibat tindakannya yang (dianggap) salah.
Akan tetapi –umumnya– gerakan ini biasanya muncul dalam pembahasan terkait misogini, ras, dan orientasi seksual.
Sayangnya, karena ini terjadi di ranah maya, maka cancel culture bisa terjadi dalam topik apa saja dan kepada siapa saja.
Pada beberapa kasus, misalnya, semula memang berupa perundungan yang ditujukan jknailsbeauty.com pada suatu masalah. Tetapi, saking tidak terkontrolnya dan bubble media sosial bisa berujung pada cancel culture yang belakang sudah berkembang di beberapa negara.
Diskursus ini jadi menarik karena ada pemahaman etis dan tidaknya cancel culture ini. Pasalnya, standar itu berbeda pada setiap orang, kan?
Bagaimana tanggapan Kompasianer mengenai fenomena ini? Benarkah ini bisa terjadi di Indonesia? Jika, ya, sebagai pembelajaran adakah hal-hal yang bisa kita antisipasi agar ini tidak terjadi pada kita?
Tidak hanya itu, dampak apa yang kemudian bisa terjadi jika ini benar sudah terjadi di Indonesia? Silakan tambah label Dampak Cancel Culture (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.
Cancel culture, atau “budaya pembatalan”, adalah sebuah fenomena di mana individu atau kelompok dihukum atau diasingkan secara sosial karena tindakan atau perkataan yang dianggap tidak pantas, ofensif, atau berkonotasi negatif. Fenomena ini semakin berkembang di media sosial, di mana publik dapat dengan cepat mengkritik atau “membatalkan” figur publik atau bahkan perusahaan yang dianggap melanggar norma sosial atau etika.
Baca Juga : Warga Amerika dan ‘Budaya Pembatalan’: Sebagian Melihatnya Sebagai Seruan Akuntabilitas
Asal Mula Cancel Culture
Cancel culture berkembang pesat dengan adanya media sosial, di mana pengguna dapat saling terhubung dan berbagi pendapat dalam waktu yang sangat cepat. Gerakan ini mulai populer sekitar awal tahun 2010-an, dengan munculnya hashtag seperti #CancelKardashians dan #MeToo, yang memberikan ruang bagi orang-orang untuk berbicara tentang pengalaman mereka dengan kekuasaan, diskriminasi, atau pelecehan. Meskipun demikian, istilah “canceling” itu sendiri sudah ada sejak lama, meskipun lebih terbatas dalam penggunaan.
Cara Kerja Cancel Culture
Cancel culture biasanya dimulai dengan adanya pernyataan atau tindakan kontroversial dari seseorang—baik itu seorang selebriti, politisi, influencer, atau perusahaan. Ketika suatu pihak merasa bahwa tindakan atau perkataan tersebut tidak dapat diterima, mereka kemudian mengajak orang lain untuk “membatalkan” atau mengkritik individu atau entitas tersebut, sering kali melalui platform media sosial seperti Twitter, Instagram, atau TikTok. Ini dapat mencakup seruan untuk berhenti mengikuti akun media sosial mereka, berhenti membeli produk mereka, atau menarik dukungan finansial terhadap mereka.