
Cancel Culture di Kalangan TikTokers: Dampak dan Fenomena yang Semakin Populer
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena cancel culture telah menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial, termasuk TikTok. Cancel culture merujuk pada tindakan publik untuk “membatalkan” atau menghindari individu, grup, atau merek yang dianggap telah melakukan sesuatu yang kontroversial atau tidak etis. Di TikTok, yang dikenal dengan dinamika cepat dan viral, cancel culture sering kali mencuat dengan intensitas yang luar biasa. Artikel ini akan membahas fenomena cancel culture TikTokers, dampaknya terhadap mereka, serta bagaimana hal ini memengaruhi perilaku dan persepsi masyarakat terhadap tokoh-tokoh media sosial.
BACA JUGA INFORMASI ARTIKEL SELANJUTNYA DISINI: Artis Thailand dan Fenomena Cancel Culture: Dampaknya di Dunia Hiburan
Apa Itu Cancel Culture?
Cancel culture adalah praktik di mana individu atau kelompok secara kolektif menarik dukungan terhadap seseorang atau sesuatu yang dianggap melakukan perilaku tidak pantas, ofensif, atau tidak etis. Tindakan ini bisa berupa menghentikan dukungan terhadap seorang tokoh publik, berhenti mengikuti akun mereka di media sosial, atau bahkan melaporkan mereka ke platform sosial agar mendapatkan sanksi atau pemblokiran.
Pada TikTok, cancel culture sering kali terkait dengan video atau konten yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial atau etika. Ketika seorang TikToker mengunggah video yang kontroversial, apakah itu terkait dengan ujaran kebencian, rasisme, seksisme, atau bahkan tindakan yang dianggap tidak bertanggung jawab, masyarakat TikTok dapat bereaksi dengan mem-BERHENTIKAN mengikuti akun tersebut, memberi komentar negatif, atau bahkan meminta agar akun tersebut diblokir atau dihapus.
Bagaimana Cancel Culture Memengaruhi TikTokers?
TikTokers, seperti selebritas media sosial lainnya, sering kali mendapatkan popularitas berkat pengikut yang setia dan engagement tinggi. Namun, hal ini juga membuat mereka rentan terhadap efek negatif dari cancel culture ketika mereka melakukan kesalahan atau berbuat kontroversial. Berikut adalah beberapa dampak yang dialami TikTokers ketika mereka menjadi sasaran cancel culture:
-
Penurunan Jumlah Pengikut
Salah satu dampak langsung yang sering dialami TikTokers yang dibatalkan adalah penurunan jumlah pengikut. Pengikut yang merasa kecewa atau tersinggung oleh konten atau perilaku mereka akan memilih untuk tidak mengikuti akun mereka lagi. Hal ini dapat merusak citra dan popularitas TikToker tersebut secara signifikan. -
Dampak terhadap Karier dan Brand
Banyak TikTokers yang membangun karier mereka melalui endorsement produk, kolaborasi dengan merek, atau bekerja dengan agen iklan. Jika seorang TikToker terkena cancel culture, ini bisa berisiko terhadap hubungan mereka dengan merek atau sponsor. Merek yang tidak ingin diasosiasikan dengan kontroversi atau citra negatif cenderung menarik diri dari kerja sama dengan TikTokers yang terlibat dalam skandal. -
Kehilangan Kepercayaan Pengikut
Kepercayaan adalah aset berharga bagi TikTokers. Ketika mereka melakukan kesalahan besar atau video mereka dianggap menyinggung pihak tertentu, pengikut mereka mungkin kehilangan kepercayaan. Reaksi dari para pengikut ini bisa berujung pada pembatalan total dukungan terhadap influencer atau bahkan penyebaran kampanye untuk memboikot konten mereka. -
Stress Mental dan Dampak Psikologis
Efek dari cancel culture tidak hanya dirasakan di dunia maya, tetapi juga dapat memengaruhi kesehatan mental TikToker. Dihujani dengan komentar negatif, hinaan, dan kritik dapat menimbulkan stres yang berat. Bahkan beberapa TikTokers mengungkapkan rasa frustrasi dan ketidakmampuan untuk menghadapinya, yang dapat berakibat pada penurunan kesehatan mental mereka.
Kontroversi dan Kritik terhadap Cancel Culture di TikTok
Meskipun cancel culture sering dianggap sebagai sarana untuk menegakkan etika sosial dan menghukum perilaku yang tidak pantas, fenomena ini juga memunculkan banyak kritik. Beberapa kritikus berpendapat bahwa cancel culture sering kali berlebihan dan tidak memberikan ruang bagi pertumbuhan atau perubahan. Beberapa alasan utama kritik terhadap cancel culture adalah:
-
Kurangnya Ruang untuk Pertobatan
Banyak yang merasa bahwa cancel culture sering kali menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi individu yang bersangkutan untuk meminta maaf atau memperbaiki kesalahan mereka. Bagi sebagian orang, ini menciptakan budaya di mana kesalahan kecil atau miskomunikasi dapat menghancurkan karier seseorang tanpa ada kesempatan untuk perbaikan. -
Dampak Terhadap Kebebasan Berpendapat
Beberapa pihak melihat cancel culture sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat. Mereka berpendapat bahwa individu seharusnya diberikan kebebasan untuk mengekspresikan pendapat atau opini mereka, meskipun mungkin tidak populer, tanpa takut dihukum atau dibatalkan oleh masyarakat. -
Sering Tidak Proporsional
Dalam beberapa kasus, sanksi yang diberikan dalam cancel culture bisa jadi terlalu berlebihan dibandingkan dengan kesalahan yang dilakukan. Misalnya, kesalahan kecil yang seharusnya bisa diselesaikan dengan klarifikasi atau permintaan maaf malah berujung pada penghentian total karier seorang TikToker. Ini menunjukkan ketidakseimbangan antara kesalahan dan konsekuensinya.
Menghadapi Cancel Culture: Apakah Ada Jalan Keluar?
Bagi TikTokers yang terjebak dalam cancel culture, ada beberapa cara untuk merespons atau menghadapinya. Salah satu cara terbaik adalah dengan mengakui kesalahan secara terbuka jika memang ada yang salah, dan meminta maaf dengan tulus. Menunjukkan bahwa seseorang belajar dari kesalahannya dan berusaha memperbaiki perilaku atau sikap yang dianggap kontroversial bisa menjadi langkah positif.
Selain itu, TikTokers yang terkena cancel culture perlu memahami bahwa mereka tidak selalu bisa memuaskan semua orang. Dalam beberapa kasus, mereka harus mempertimbangkan apakah mereka bisa terus beraktivitas secara sehat di dunia maya atau lebih baik mundur sementara waktu untuk fokus pada diri sendiri.

Artis Thailand dan Fenomena Cancel Culture: Dampaknya di Dunia Hiburan
Cancel culture atau budaya batal adalah fenomena sosial yang semakin berkembang di seluruh dunia, tak terkecuali di Thailand. Dalam beberapa tahun terakhir, artis-artis Thailand telah menjadi sasaran kritikan publik yang intens, dengan banyak dari mereka mengalami konsekuensi signifikan akibat kontroversi yang terjadi di media sosial. Fenomena ini memengaruhi karier dan citra mereka, memunculkan perdebatan tentang rajazeus batas-batas kebebasan berekspresi, tanggung jawab publik, dan dampak media sosial terhadap kehidupan pribadi selebriti.
BACA JUGA BERITA LAINNYA DISINI: Tabu Dalam Kehidupan Masyarakat Ingin Jaya Aceh Besar
Apa Itu Cancel Culture?
Cancel culture mengacu pada tindakan menghindari atau menghentikan dukungan terhadap individu atau entitas tertentu karena perilaku atau pernyataan mereka yang dianggap tidak pantas atau menyinggung. Fenomena ini sering terjadi di media sosial, di mana kritik dan kecaman dapat tersebar dengan cepat, dan bisa berujung pada kehilangan pekerjaan, kontrak, atau dukungan dari penggemar. Di dunia hiburan, cancel culture bisa berujung pada akhir karier bagi artis yang dianggap telah melanggar norma sosial atau etika yang berlaku.
Fenomena Cancel Culture di Thailand
Di Thailand, fenomena cancel culture mulai marak dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan generasi muda yang sangat aktif di media sosial. Salah satu contoh paling mencolok adalah insiden yang melibatkan artis Thailand yang membuat pernyataan kontroversial atau terlibat dalam perilaku yang dianggap tidak etis. Media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram menjadi platform utama di mana kritik dan kecaman terhadap artis bisa menyebar begitu cepat.
Kasus Cancel Culture yang Terkenal di Thailand
1. Pernyataan Kontroversial Artis
Salah satu contoh terkenal tentang cancel culture di Thailand melibatkan seorang artis yang membuat pernyataan yang dianggap tidak sensitif atau tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial. Misalnya, beberapa artis pernah terlibat dalam pernyataan atau perilaku yang dianggap diskriminatif atau merendahkan kelompok tertentu, baik itu tentang gender, ras, atau status sosial. Ketika kontroversi ini terungkap, artis tersebut sering kali mendapatkan reaksi keras dari penggemar dan masyarakat luas yang kemudian memunculkan gerakan cancel.
2. Kontroversi Perilaku Pribadi
Selain pernyataan kontroversial, perilaku pribadi artis juga sering menjadi alasan utama terjadinya cancel culture. Kasus-kasus seperti dugaan kekerasan dalam rumah tangga, masalah narkoba, atau hubungan yang tidak sehat dengan penggemar sering kali menjadi sorotan media dan mengarah pada penghakiman publik. Sebagai contoh, seorang aktor terkenal yang terlibat dalam skandal narkoba atau kasus kekerasan domestik bisa dengan cepat kehilangan kontrak kerja, pekerjaan, dan penggemar, meskipun mereka telah lama dikenal sebagai artis terkenal.
3. Perilaku di Media Sosial
Media sosial memiliki pengaruh besar dalam dunia hiburan Thailand, dan artis yang tidak bijaksana dalam menggunakan platform ini sering kali berisiko mengalami cancel culture. Beberapa artis terlibat dalam perdebatan atau pernyataan yang kontroversial di akun pribadi mereka, yang kemudian menciptakan reaksi berantai. Penggunaan media sosial yang buruk, seperti menyebarkan kebencian, melakukan penghinaan, atau menyinggung kelompok tertentu, dapat berakibat fatal bagi karier seorang artis.
Dampak Cancel Culture pada Karier Artis Thailand
Cancel culture memiliki dampak yang signifikan pada karier artis di Thailand. Dalam dunia hiburan yang sangat bergantung pada citra publik dan dukungan penggemar, satu kesalahan besar bisa membuat artis kehilangan pekerjaan dan penggemar dalam waktu yang sangat singkat. Dampak dari cancel culture ini bisa sangat merusak bagi karier artis, yang sering kali harus menghadapi kehilangan sponsor, penghentian kontrak, atau bahkan dipecat dari produksi film atau acara televisi.
1. Kehilangan Kontrak dan Pekerjaan
Banyak artis yang terlibat dalam skandal atau kontroversi yang membuat mereka dibatalkan atau dihentikan dari berbagai proyek pekerjaan. Kontrak dengan perusahaan-perusahaan besar bisa dibatalkan, dan banyak acara televisi atau film yang menarik diri dari bekerja dengan artis yang telah mengalami cancel culture. Hal ini menyebabkan kerugian finansial yang signifikan dan bisa berakibat pada berkurangnya kesempatan untuk berkarier di masa depan.
2. Pengaruh Negatif pada Reputasi dan Citra
Salah satu dampak terbesar dari cancel culture adalah pengaruh negatifnya terhadap reputasi dan citra publik artis. Penggemar yang kecewa atau marah terhadap tindakan atau pernyataan seorang artis bisa beralih mendukung selebriti lain. Reputasi yang tercemar sering kali sulit untuk dipulihkan, bahkan setelah permintaan maaf atau klarifikasi dari artis tersebut. Dalam beberapa kasus, artis yang pernah terlibat dalam kontroversi yang besar bisa mengalami kesulitan untuk mendapatkan peran besar di dunia hiburan lagi.
3. Tekanan Psikologis dan Emosional
Selain dampak finansial dan profesional, cancel culture juga memberikan tekanan psikologis dan emosional pada artis. Kritik yang datang dari publik dan media sosial bisa sangat menghancurkan bagi mental seorang artis. Ketika terlibat dalam kontroversi besar, artis sering kali harus menghadapi hujatan, kecaman, dan serangan pribadi yang bisa merusak kesehatan mental mereka. Hal ini bisa membuat artis merasa terisolasi dan tertekan.
Perdebatan Tentang Cancel Culture di Thailand
Fenomena cancel culture di Thailand memunculkan banyak perdebatan. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa cancel culture adalah bentuk dari tanggung jawab sosial. Mereka percaya bahwa publik berhak menuntut artis untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai sosial dan etika yang berlaku. Jika seorang artis melakukan kesalahan yang jelas, mereka harus menghadapi konsekuensinya sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Namun, di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa cancel culture dapat berlebihan dan tidak adil. Beberapa orang merasa bahwa artis-artis yang terlibat dalam kontroversi sering kali mendapatkan hukuman yang tidak proporsional terhadap kesalahan yang mereka buat. Ada yang berpendapat bahwa daripada langsung membatalkan seorang artis, lebih baik memberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan dan belajar dari kesalahan mereka.
Menyikapi Cancel Culture: Apakah Ada Jalan Tengah?
Dalam menghadapi fenomena cancel culture, penting bagi artis untuk bersikap bijak dan berhati-hati, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional mereka. Selain itu, publik dan penggemar juga perlu mempertimbangkan konteks dan dampak dari kritik yang diberikan. Salah satu jalan tengah yang mungkin adalah dengan memberikan kesempatan bagi artis untuk meminta maaf dan menunjukkan pertumbuhan pribadi. Sementara itu, penting juga untuk memahami bahwa setiap orang, termasuk artis, dapat membuat kesalahan, dan penting untuk memberi ruang bagi perbaikan dan pembelajaran.

Cancel Culture: Fenomena Boikot di Era Digital
Cancel culture merujuk pada tindakan memboikot atau menghentikan dukungan terhadap individu yang dianggap melakukan perilaku atau mengungkapkan pendapat yang tidak sesuai dengan norma atau etika tertentu. Fenomena slot server jepang ini banyak terjadi melalui media sosial, di mana publik secara kolektif menghakimi dan menuntut konsekuensi dari perilaku buruk yang dilakukan oleh public figure, seperti selebritas atau politisi.
Contoh Kasus Cancel Culture di Indonesia
Di Indonesia, beberapa kasus cancel culture yang mencuat ke permukaan antara lain:
- Gofar Hilman, yang kehilangan sejumlah pekerjaan setelah diduga melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa perempuan.
- Ayu Ting Ting, yang sempat diboikot dan dilarang tampil di televisi setelah menendang kru dalam sebuah acara langsung.
- Listy Chan dan Ericko Lim, yang kehilangan banyak pengikut di YouTube setelah terlibat skandal perselingkuhan.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bagaimana cancel culture dapat menghancurkan reputasi seseorang dalam sekejap.
Fenomena Cancel Culture di Dunia Internasional
Di luar Indonesia, fenomena ini juga mencuat di berbagai belahan dunia, seperti:
- JK Rowling, yang diserang karena komentar yang dianggap transfobik terhadap komunitas transgender.
- Johnny Depp, yang mengalami boikot setelah tuduhan kekerasan terhadap Amber Heard, meski akhirnya terbukti sebaliknya.
- Kim Seon Ho, artis Korea Selatan yang kehilangan banyak kontrak kerja setelah dituduh memaksa mantan kekasihnya untuk melakukan aborsi.
Baca Juga : https://www.projectbolo.com/efek-negatif-cancel-culture-bagi-kesehatan-mental/
Dampak Cancel Culture
Meski cancel culture bisa menegakkan keadilan, fenomena ini juga dapat menimbulkan dampak buruk, baik bagi individu yang menjadi korban maupun masyarakat secara keseluruhan.
1. Risiko Depresi dan Gangguan Mental
Cancel culture sering berujung pada perundungan massal, yang dapat mengisolasi korban dan memperburuk kondisi mental mereka. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal BMC Psychiatry (2017) menunjukkan bahwa perundungan semacam ini dapat meningkatkan risiko depresi, gangguan kecemasan, bahkan pemikiran untuk bunuh diri.
2. Menggali Trauma Lama pada Korban
Dalam banyak kasus, korban dari individu yang diboikot harus kembali membuka luka lama mereka sebagai bagian dari pembelaan publik. Hal ini dapat memicu trauma yang sebelumnya berusaha mereka lupakan. Ketika fenomena ini terjadi secara masif, bisa jadi mereka dipaksa untuk menghadapi trauma tersebut lagi, yang memperburuk kesehatan mental mereka.
3. Kehilangan Kebebasan Berpendapat
Salah satu dampak negatif lain dari cancel culture adalah membuat orang merasa takut untuk mengungkapkan pendapat yang berbeda. Ketakutan akan menjadi korban boikot membuat banyak orang memilih untuk diam atau menyembunyikan pendapat mereka. Akibatnya, diskusi publik bisa menjadi kurang dinamis dan terbatas pada satu perspektif saja.
Apakah Cancel Culture Selalu Buruk?
Meskipun cancel culture seringkali membawa dampak negatif, ada juga sisi positifnya. Fenomena ini dapat berfungsi sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial yang efektif untuk individu atau institusi yang melanggar norma atau hukum yang berlaku. Cancel culture bisa menjadi alat untuk mengoreksi perilaku buruk di kalangan public figure yang sulit dihukum secara hukum.
Solusi dan Langkah Selanjutnya
Jika Anda merasa terganggu oleh dampak cancel culture, berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater bisa menjadi langkah yang bijak. Dukungan profesional dapat membantu individu yang terdampak untuk mengatasi masalah mental yang muncul akibat perundungan atau boikot yang mereka alami.

Benarkah “Cancel Culture” Nyata Terjadi di Indonesia?
Menurutmu benarkah cancel culture sudah terjadi di Indonesia? Apakah ini sekadar fenomena atau akan ada momen maupun kejadian lain yang bisa terjadi serupa?
Selain itu, apakah itu adil bagi pengkarya yang mana juga terdampak pada karya-karya selanjutnya?
Cancel culture ini bisa dibilan sebuah gerakan yang umumnya terjadi di dunia maya. Umumnya gerakan ini bertujuan untuk memboikot atau menghukum seseorang maupun kelompok akibat tindakannya yang (dianggap) salah.
Akan tetapi –umumnya– gerakan ini biasanya muncul dalam pembahasan terkait misogini, ras, dan orientasi seksual.
Sayangnya, karena ini terjadi di ranah maya, maka cancel culture bisa terjadi dalam topik apa saja dan kepada siapa saja.
Pada beberapa kasus, misalnya, semula memang berupa perundungan yang ditujukan jknailsbeauty.com pada suatu masalah. Tetapi, saking tidak terkontrolnya dan bubble media sosial bisa berujung pada cancel culture yang belakang sudah berkembang di beberapa negara.
Diskursus ini jadi menarik karena ada pemahaman etis dan tidaknya cancel culture ini. Pasalnya, standar itu berbeda pada setiap orang, kan?
Bagaimana tanggapan Kompasianer mengenai fenomena ini? Benarkah ini bisa terjadi di Indonesia? Jika, ya, sebagai pembelajaran adakah hal-hal yang bisa kita antisipasi agar ini tidak terjadi pada kita?
Tidak hanya itu, dampak apa yang kemudian bisa terjadi jika ini benar sudah terjadi di Indonesia? Silakan tambah label Dampak Cancel Culture (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.
Cancel culture, atau “budaya pembatalan”, adalah sebuah fenomena di mana individu atau kelompok dihukum atau diasingkan secara sosial karena tindakan atau perkataan yang dianggap tidak pantas, ofensif, atau berkonotasi negatif. Fenomena ini semakin berkembang di media sosial, di mana publik dapat dengan cepat mengkritik atau “membatalkan” figur publik atau bahkan perusahaan yang dianggap melanggar norma sosial atau etika.
Baca Juga : Warga Amerika dan ‘Budaya Pembatalan’: Sebagian Melihatnya Sebagai Seruan Akuntabilitas
Asal Mula Cancel Culture
Cancel culture berkembang pesat dengan adanya media sosial, di mana pengguna dapat saling terhubung dan berbagi pendapat dalam waktu yang sangat cepat. Gerakan ini mulai populer sekitar awal tahun 2010-an, dengan munculnya hashtag seperti #CancelKardashians dan #MeToo, yang memberikan ruang bagi orang-orang untuk berbicara tentang pengalaman mereka dengan kekuasaan, diskriminasi, atau pelecehan. Meskipun demikian, istilah “canceling” itu sendiri sudah ada sejak lama, meskipun lebih terbatas dalam penggunaan.
Cara Kerja Cancel Culture
Cancel culture biasanya dimulai dengan adanya pernyataan atau tindakan kontroversial dari seseorang—baik itu seorang selebriti, politisi, influencer, atau perusahaan. Ketika suatu pihak merasa bahwa tindakan atau perkataan tersebut tidak dapat diterima, mereka kemudian mengajak orang lain untuk “membatalkan” atau mengkritik individu atau entitas tersebut, sering kali melalui platform media sosial seperti Twitter, Instagram, atau TikTok. Ini dapat mencakup seruan untuk berhenti mengikuti akun media sosial mereka, berhenti membeli produk mereka, atau menarik dukungan finansial terhadap mereka.