Cancel culture telah menjadi isu besar dalam masyarakat modern, khususnya di era media sosial. Fenomena ini, meski awalnya bertujuan untuk mengedepankan pertanggungjawaban sosial, kini justru menimbulkan dampak negatif yang serius bagi individu yang terlibat. Salah satu contoh terbaru adalah kabar duka meninggalnya aktris Korea Selatan, Kim Sae Ron, yang diduga mengalami tekanan mental akibat cancel culture.
Apa Itu Cancel Culture?
Cancel culture adalah istilah yang merujuk pada sebuah situasi di mana seseorang, biasanya seorang tokoh publik, mengalami boikot atau pengucilan sosial setelah melakukan kesalahan atau membuat pernyataan yang dianggap menyinggung. Pada awalnya, konsep ini dikenal sebagai call-out culture, di mana pelaku kesalahan diberi kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri. Namun, dalam cancel culture, kesempatan untuk mengklarifikasi slot spaceman atau meminta maaf hampir tidak ada, dan seringkali korban langsung diboikot tanpa ruang untuk pertahanan.
Asal-Usul Istilah Cancel Culture
Kata cancel culture pertama kali muncul dalam sebuah adegan di film New Jack City pada 1991, di mana karakter Nino Brown berkata, “Batalkan dia,” yang merujuk pada mantan pacarnya. Frasa ini tidak langsung populer, tetapi pada tahun 2014, muncul lagi dalam sebuah episode acara Love and Hip-Hop: New York, dengan ucapan “You’re canceled.” Seiring waktu, frasa ini berkembang menjadi bentuk pengucilan sosial yang kini dikenal sebagai cancel culture.
Dampak Cancel Culture terhadap Kesehatan Mental
Fenomena cancel culture tidak hanya berdampak pada reputasi seseorang, tetapi juga dapat menyebabkan tekanan mental yang sangat besar. Korban dari cancel culture sering kali merasa terisolasi dan diserang tanpa diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan atau meminta maaf. Situasi ini menyebabkan perasaan kesepian yang mendalam dan, dalam beberapa kasus, berujung pada kecemasan, depresi, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri.
Baca Juga : https://www.projectbolo.com/cancel-culture-fenomena-boikot-di-era-digital/
Ketakutan dan Rasa Bersalah
Menurut Therapy Group DC, ketakutan terhadap cancel culture dapat menyebabkan kecemasan yang mendalam di kalangan individu. Ketakutan bahwa setiap perkataan atau tindakan bisa diperiksa dan dipermasalahkan membuat banyak orang memilih untuk diam. Mereka merasa tertekan, tidak berdaya, dan sering kali dibebani dengan rasa bersalah karena tidak bisa membela diri atau orang lain.
Cancel Culture vs. Call-Out Culture
Penting untuk membedakan antara cancel culture dan call-out culture. Dalam call-out culture, ada ruang bagi individu untuk memperbaiki kesalahannya melalui diskusi dan klarifikasi. Namun, dalam cancel culture, ruang untuk berbicara atau memperbaiki diri hampir tidak ada, dan hukuman sosial terasa langsung dan keras.
Kesimpulan: Dampak Negatif Cancel Culture
Secara keseluruhan, meskipun cancel culture bertujuan untuk memberi efek jera terhadap perilaku yang dianggap salah, dampaknya sering kali lebih merugikan daripada memberikan pembelajaran. Dalam banyak kasus, fenomena ini menimbulkan perasaan terisolasi dan stres mental yang besar bagi individu yang menjadi korban. Jika tidak dihadapi dengan bijaksana, cancel culture justru berpotensi memperburuk kondisi sosial dan psikologis seseorang, serta menciptakan iklim ketakutan dalam masyarakat.